Kamu Memang Pejuang

"Umi, H jatuh ... nangis ...". Al tergopoh-gopoh kembali masuk ke dalam rumah dan menghampiri saya di dapur tanpa melepas sepatu. Saya memang meminta mereka keluar duluan karena akan membawa sampah di dapur untuk sekalian dibuang.

Bergegas saya ke luar, dan mendapati H yang terisak. Omelan langsung  didendangkan.
"Aduh ... makanya jangan main-main kalau mau sekolah, tuh liat bajunya kotor, celananya kotor". Saya langsung menepuk nepuk baju dan celananya untuk membersihkan debu, masih sambil mengomel. "Tadi kan bajunya rapi, wangi udah dicuci ... sekarang kok begini ...".
H terdiam.
"Mana yang sakit?". Intonasi suara mulai menurun.
"Ini ...". Jawabnya sambil menunjuk bagian kepala.
Saya cek, darah mengucur, dan banyak dan ada luka menganga. Gemetar, tubuh terasa lunglai.

Sambil bersimbah air mata saya ketuk pintu tetangga dan saya katakan saya harus bawa H ke rumah sakit.
"Ya Allah teteh, anakku Ya Allah, anakku Ya Allah ... tolong telponin suami saya".

Kami ke rumah sakit diantar teman, suami menyusul. Di sepanjang jalan saya lantunkan doa dalam kekhawatiran yang luar biasa. Bukan hanya luka, tapi akibat yang bisa terjadi dikemudian hari.

Terbayang tentang kehilangan, penyesalan dan rasa bersalah.
"I love you Nak, maafin Umi ...".
"I love you too ... sakiit, doain ...". Katanya sambil kembali menangis. Tak ada teriakan kesakitan, tak ada jeritan. Maa syaa Allah, anak shalihku memang pejuang.

Bagaimana tidak, saat tujuh bulan dalam kandungan dia ikut terpapar anestesi karena operasi benjolan payudara yang diderita uminya. Dia juga ikut merasakan pahitnya obat yang dimakan uminya selama sepuluh bulan. Dia pejuang.

Saat berusia dua setengah tahun ia disunat, hanya sebentar saja ia berteriak. Dia lebih sering menangis tanpa suara, membuat siapapun yang melihatnya malah lebih iba. Anak sholihku, sekarang dia kesakitan.

Kudekap dia, kubacakan doa-doa yang aku bisa.
"Umi sakit ...".
"Iya sayang, sebentar lagi kita sampai".
"Kemana umi, ke sekolah?".
"Gak Nak, kita ke dokter dulu biar dokter lihat dulu lukanya"

Melihatnya dijahit dan mendengar rintih kesakitannya mengingatkan saya pada tangisan kecilnya ketika bayi dulu, empat hari di dalam inkubator. Bilirubinnya tinggi, dia harus disinar agar warna kuning di seluruh tubuhnya hilang. Setiap hari, tubuh merah itu diambil darahnya untuk dicek, dan setiap kali itu pula saat mendengar tangisnya hati saya seperti dirobek-robek,  persis seperti sekarang.

Si bungsuku memang pejuang. Bagaimana tidak, selama satu bulan setengah "bingung puting" karena harus menyusu dari botol, tetap bersabar melewati masa prelaktasi. Di minggu ketujuh dia mulai berhasil menghisap, dan mendapatkan makanan terbaiknya.

Cepat sembuh Nak, In syaa Allah Allah akan menolong kita seperti sebelum-sebelumnya.

-------
Qatar, 20 Februari 2019


Komentar

Postingan Populer