Home Is Where Your Mom Is

Sedikit demi sedikit tanah pekuburan itu menutup jasadnya. Selamat jalan ua, semoga husnul khatimah.
Horeee... mudiiiik. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya datang juga. Mudik tahun ini memang berbeda dari sebelumnya. Sekolah baru libur menjelang lebaran. Biasanya sejak puasa pertama sekolah sudah diliburkan. Tapi karena perbedaan bulan Hijriah dan Masehi, menyebabkan bulan puasa jatuh pada saat anak-anak baru memulai exam nya. Jadilah kami mudik setelah Lebaran.

Dua bulan sebelum mudik, tiket sudah ada di tangan. Tahun ini tiket Qatar Airways sangat tinggi. Kami memilih maskapai lain untuk menghemat biaya meski harus transit di Colombo untuk 2 jam. "Gak apa-apa", pikirku, toh anak-anak sudah besar dan si sulungpun bisa jadi bodyguard umi dan adik-adiknya. Sisa uang tiket dari perusahaan tempat suami bekerja bisa untuk beli ekstra oleh-oleh. Ya, kami mudik berempat, hanya saya bersama anak-anak. Suami tahun ini tak dapat cuti lebaran bergantian dengan temannya. Jadi akan menyusul kami nanti 1 bulan kemudian.

Koper-koper telah disiapkan. Ada 9 koper kalau tidak salah. Isinya hampir semuanya oleh-oleh yang kami kumpulkan mencicil sekitar 3 bulan lamanya. Ya, berburu oleh-oleh adalah refreshing tersendiri untuk saya. Khas emak-emak, setiap belanja mingguan atau jalan-jalan di mall dan melihat yang lucu-lucu, sering tak tahan untuk tidak membeli. Gantungan kunci, pernak-pernik pajangan. Bunga-bunga artifisial, hiasan dinding, sampai ke peralatan rumah tangga. Belum lagi makanan kecil khas timur tengah, coklat, kacang-kacangan, berbagai jenis kurma, oleh-oleh wajib yang harus selalu dibawa. Abaya, gamis atau Thob untuk bapak-bapak, pacar atau hena dan parfum khas timur tengah jangan sampai ketinggalan.





Tanggal 30 Juni 2018 sampailah kami di Bandara Soeta. Disambut oleh keluarga suami dan keluarga saya dari Tasik. Dua koper berpindah tangan untuk keluarga mertua di Tangerang. Setelah ngobrol beberapa saat, kamipun berpisah. Saya dan anak-anak langsung menuju Tasik, sekitar 6 jam perjalanan dari Jakarta. Perjalanan yang sangat panjang hingga akhirnya kami tiba di Rumah Hijau dan disambut semua keluarga. Ah, senangnya ...



Seminggu di kampung halaman, anak-anak terlihat senang sekali. Ikut Aki ke sawah, ngasih makan ayam-ayam, bakar sampah, main layang-layang ketika sore dan tentu saja mancing ikan. Selain naik Delman, ada satu hal lagi yang sangat disukai anak-anak, yaitu naik motor dibonceng sama Aki, untuk beli bubur ayam pagi-pagi, atau beli sate ayam ketika sore. Lucunya jika pagi-pagi, salah satunya masih tidur dan yang satunya sudah bangun kemudian diajakin Aki nya pergi, pulangnya pasti mereka berantem dan marah-marah lucu karena gak diajak.

Mamah dan Ua Sakit
Di minggu kedua kami di kampung halaman, mamah saya sakit. Mamah memang sudah lama mengidap diabetes, dan menjalani diet ketat hingga bobot badannya menyusut. Tidak boleh kecapean, salah makan, kurang tidur atau banyak pikiran. Hari Minggu itu memang keluarga besar pergi ke Bandung karena ada anggota keluarga yang walimatussafar. Sepertinya mamah kecapean, sepulangnya dari sana, selepas subuh mamah muntah dan lemas. Di ruang tunggu dokter mamah pingsan dan langsung masuk IGD.


Di hari yang sama, Ua yang juga mengidap diabetes, malam-malam dilarikan ke Rumah Sakit karena diare dan sakit tangan sebelah kanan. Dirawat di RS yang sama, satu lantai hanya berbeda ruangan. Akhirnya kegiatan kami setiap harinya bolak-balik RS dan rumah. Mamah ditunggui adik saya yang terpaksa izin dari pekerjaannya. Pagi hari saya dan Bapak ke RS, dan sore harinya pulang ke rumah menemani anak-anak. Gula darah mamah drop sekali, begitu juga tensinya. Selain itu nafas mamah sesak, sehingga membuat mamah lemas dan kesakitan. Ternyata ada masalah dengan jantungnya. Darah mamah mengental dan lambungnya penuh dengan angin.
Sedih sekali melihat mamah yang terbaring lemah diatas kasur dengan 2 infus terpasang dan selang oksigen yang membantu pernafasannya. Mamah lemah, sampai tak kuat untuk berkata-kata. Suaranya nyaris tak terdengar. Makan, minum shalat, dan buang air semua dilakukan di atas kasur.

Ua terlihat segar, tujuh hari dirawat, diarenya sudah sembuh, tinggal sakit ditangannya saja yang masih terasa. Ua diperbolehkan keluar RS dengan catatan harus segera berobat jalan ke dokter syaraf.
Sementara mamah masih terlihat lemah, tapi selang oksigen sudah bisa dilepas. Di hari ke empat dokter menyarankan mamah untuk dipindah ke ruang ICU agar denyut jantungnya selalu terpantau. Tapi kami sekeluarga menolak. Di ruang isolasi itu mamah tak akan bisa ditemani, mentalnya akan drop dan ini sangat tidak baik untuk mamah.
Alhamdulillah keputusan kami ternyata benar, berangsur-angsur mamah membaik. Setelah beberapa kali cek Lab, barulah ketahuan kalau enzim jantung mamah sangat tinggi. Setiap hari mamah mendapatkan satu suntikan di perut untuk menurunkan enzimnya, dan setiap malam pula, mamah  harus diambil darahnya untuk cek Lab. Setelah 7 kali suntikan, akhirnya enzim jantungnya turun meski belum normal. Dan di hari ke 10 mamah sudah diperbolehkan pulang dan berobat jalan. Alhamdulillah.

Suami Datang Menyusul
Si Sulung telah kembali ke asrama, liburannya telah habis. Sejauh ini anak-anak hanya saya ajak ke mall dan tempat-tempat makan yang dekat saja. Konsentrasi kami masih kepada yang sakit. Nanti kalau Abinya datang dan semua sudah kembali sehat, barulah kami berencana akan jalan-jalan, begitu pikir saya.
Tanggal 31 Juli suami datang menyusul, kami menjemputnya di bandara. Kemudian menginap 3 hari di rumah ibu mertua. Setelah itu keluarga besar suami ikut kami ke tasik, menengok mamah dan menginap 2 hari di rumah hijau. Alhamdulillah rumah jadi ramai, dan seru.



Mamah alhamdulillah semakin hari semakin membaik. Makanannya dijaga, perut tidak boleh kosong. Kemaren-kemaren karena khawatir diabetesnya, mamah diet terlalu ketat, sehingga lambungnya kosong terisi angin. Asam lambung naik hingga mempengaruhi enzim jantungnya. Mamah harus selalu ngemil dengan makanan sehat. Setiap hari saya membuat sayur bening untuk mamah. Tak boleh makan gorengan, tak boleh ada sayur mentah, dan tak boleh ada daging merah. "Kak, pengen ikan asin ... dikiit aja". Kata mamah suatu hari. Saya rendam ikan asinnya, saya cuci kemudian menggorengnya. Mamah makan dengan lahap alhamdulillah. Lain waktu " Kak, pengen tempe digoreng tipis-tipis sampe kering". Senang sekali melihat mamah makan cukup banyak. Adik saya rajin membelikan cemilan untuk mamah, biskuit-biskuit sugar free dan makanan bayi. Biar mamah gak bosan, katanya.

Kami membeli alat tensi digital dan oksigen tabung kecil sesuai permintaan mamah. Ada juga alat pengukur gula darah, asam urat dan kolesterolnya. Alhamdulillah mamah semakin sehat, semakin membaik.

Lain mamah, lain ua. Nyeri ditangannya tak juga reda. Tangannya bengkak dengan kuku tangan yang mulai menghitam. Bapak mengantar ua kontrol ke dokter syaraf dan saat melihat keadaannya dokter memaksa ua untuk segera dirawat kembali pada hari itu juga. Semula ua menolak, tapi setelah ditelepon anak-anaknya dan anggota keluarga lain, akhirnya Ua mau kembali dirawat.

Ua Sakit Lagi
Serasa dejavu saat kami menapakan kaki di kamar RS itu, rasanya baru kemarin kami meninggalkannya. Sekarang ua dirawat lagi dan hampir tiap hari kami ke sana menjenguk sekalian menjemput Teh Mety anak Ua yang harus pulang karena meninggalkan anak-anak yang masih kecil di rumah. Malam hari Ua ditemani beberapa saudara yang bergantian menginap.

Di hari ke-2 di RS ua terlihat segar saat saya menengoknya. Duduk di kursi dengan membawa infusan dan tengah mengobrol asyik dengan Bi Tiktik yang selama ini menungguinya.
" Gimana ua sekarang?"
" Iya Alhamdulillah udah mendingan udah dikasih obat sama dokter". Katanya sambil tersenyum
"Itu saya bawain coklat yang ua minta, dark coklat 90%, tapi makannya sedikit-sedikit aja ya Ua ... jangan langsung dihabisin. Ini biar ua semangat untuk sembuh". kata saya panjang lebar. Dengan gula yang tinggi, ua memang pantang makanan yang manis-manis, tapi sudah beberapa kali ua bilang pengen coklat pahit yang waktu itu pernah saya kasih, Akhirnya saya bawain ke RS.
" Iya makasih". katanya.

Hari ke empat atau kelima ketika saya dan adik saya pergi menengok lagi. Ua sudah tidak bisa turun dari kasurnya. Kami masih bisa berkomunikasi dengan lancar, ua bahkan video call dengan mamah yang belum bisa menengok.
" Ua, saya sayaaang banget sama ua ... ". Kata saya sambil mengusap rambutnya.
"Muhun nuhun ...". jawab ua.
" Ua, biasanya kalau saya mudik kan nanti dikasih kue Sabtu sama Ua ... ua harus sehat, harus semangat ... "
" Iya doain ua sehat ya ...".
Saya bantu suapin dan kasih minum. Lumayan masuk meski sedikit.

Hari berikutnya, saya dapat kabar kalau kondisi ua semakin memburuk, badannya mulai membengkak dan harus dipasang kateter. Saya dan adik saya segera menengoknya.
Saat sampai, ua menanyakan Bapak. Saya katakan bahwa saya ke sini sama Geti, gak sama Bapak. Dengan agak bergumam ua bilang mobil adik saya kecil gak muat banyak orang.
" Ua pengen ditengok semua ya ua ... in syaa Allah besok ke sini ya ua ".
Ua bergumam lagi entah apa, tapi samar-samar saya dengar ua berbicara tentang ikan yang harus dipepes dengan daun. Kemudian menunjuk-nunjuk dinding dan bergumam lagi.
Sedih sekali saya melihat keadaan ua sekarang. Berbeda sekali dengan beberapa hari sebelumnya.

Hari berikutnya kami membawa semua keluarga besar ke sana. Sambil menunggu, Abinya membawa anak-anak ke alun-alun untuk bermain. Ua terlihat senang, semua menghibur dan menyemangatinya.
Meski sudah mulai melantur dan bergumam tak jelas, ua sesekali tersenyum dan berkomunikasi. Selepas magrib kami berpamitan pulang.

Sakit Ua Semakin Parah
Hari Ahad kami dapat kabar kalau anak-anak ua harus berangkat, karena cuti kerja sudah habis dan harus diperbaharui lagi. Tinggal satu anak ua yang menemani. Saya membayangkan ua pasti akan sedih. Saya dan adik saya yang baru saja pulang kerja langsung pergi ke RS.
Teh Mety bilang kalau ua sudah tak mau makan, tak bisa makan obat. Saya perhatikan wajah ua, beliau hanya tertidur.
"Sekarang semakin sering tertidur, hanya sesekali saja bangun, lagi makan atau lagi shalatpun sering tertidur". Kata Bi Tiktik menjelaskan.
"Coba Teh Mety minta ke dokternya untuk ganti puyer obatnya dan minta bubur saring saja makannya...kayak mamah waktu itu". kata saya mengusulkan. Teh Mety pun mengiyakan.

Hari berikutnya.
"Ua ini Geta sama Geti dateng ...". Bisik saya sambil mengusap kepalanya. Ua membuka matanya dan bergumam. Setelah itu tertidur lagi. Rasanya sedih sekali melihat ua begini.
Bubur saringnya masih utuh. Saya coba membangunkan dan menyuapinya. Mulut ua seperti terkunci, susah sekali untuk terbuka. Saya coba memberinya minum dengan memakai pipet. Pelan ua coba meminumnya, dan terlihat kesusahan saat menelannya.
"Ua makan pepaya sedikit ... mau ya ...". Saya potong pepaya seujung kuku dan menyuapinya. Sepertinya ua hanya memain-mainkan pepaya itu dimulutnya. Seperti kesusahan untuk mengunyah dan menelannya, meski saya bantu dengan memberinya minum. Setelah itu ua kembali tertidur.
Saat berpamitan saya bangunkan lagi ua, dan ua bergumam agak jelas, menyebut satu persatu nama saudaranya.
"Iya ua, besok semuanya akan datang menjenguk ua ...ua yang semangat ya ... banyak dzikir ...". Kata saya menyemangati.

Hari selasa, kami keluarga besar semua datang. Ua terlihat senang, terlebih ketika melihat cucu perempuannya, anak Teh Mety. Tersenyum, merespon beberapa kata lalu tertidur lagi. Badannya semakin membengkak. Cairan yang keluar dari kateter terlihat sangat keruh. Padahal gula darah ua sudah normal, tensinya pun sudah turun. Tapi kesadaran ua semakin berkurang. Setelah berembuk, keluarga memutuskan menuruti saran dokter untuk membawa ua ke Hasan Sadikin Bandung, besok.

Tapi takdir berkata lain, rabu selepas subuh, adik saya di telpon saudara yang menjaga ua di RS. Ua telah kembali menghadap Allah. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'un.

Ua Meninggal
Saya dan suami menyusul teh Mety ke rumah sakit. Saya cium kening ua untuk terakhir kalinya. Di hati saya tak ada rasa takut sedikitpun. Saya hampiri Teh Meti yang menangis telungkup di sofa, kami menangis bersama. Ua yang sudah kehilangan suaminya sekitar 20 tahun lalu, sudah saya anggap seperti orangtua saya sendiri.

Kami kemudian mengurus administrasinya. Dan membawa Almarhumah ke rumah duka. Seumur hidup, baru kali inilah saya ikut memandikan jenazah, melihatnya dikafani. Dan mengikuti setiap tahapan penguburannya. Saya pegang lengan suami erat-erat, takut untuk membayangkan bahwa entah kapan sayalah yang akan terbaring di sana. Saat beriringan pulang, dengan suara tercekat saya katakan pada suami, suatu saat nanti entah siapa diantara kita yang dipanggil Allah duluan. "Terimakasih telah menjadi suami terbaik selama ini, semoga nanti kita bisa bersama lagi di Surga". "Aamiin", balasnya lembut.



Penghujung Liburan
Setelah hari itu kami sempat main ke Karang Resik, tempat wisata yang tak jauh dari kota kami. Kemudian kami pergi ke Blora, ke kota tempat lahir suami di Jawa Tengah. Bersilaturahim dengan teman-teman dan keluarga besar suami. Lima hari kami di sana, dan saat pulang, kami melintasi jalur lingkar selatan dan mampir satu hari di Jogjakarta. Kami sempatkan berfoto di bawang plang tanda Jl. Marioboro yang terkenal itu. Konon katanya belum sah ke Jogja jika belum berfoto di sana.



Meski mudik kali ini tak banyak tempat wisata yang kami datangi. Tapi bagi saya, ini mudik yang sangat berkesan. Ketika mamah dan ua sakit, alhamdulillah saya sedang ada di sana untuk mendampingi dan ikut merawatnya. Berkali-kali mamah bilang : "Alhamdulillah nuju aya kakak nya ...". Itu pula yang dikatakan oleh hampir setiap tamu yang menjenguk mamah.

"Mah, semoga mamah selalu sehat dan kita ketemu lagi tahun depan ya Mah ...", bisik saya sambil memeluknya erat saat berpamitan.
"Aamiin, doakeun mamah nya ... ku mamah  didoakeun pisan mudah-mudah kakak, barudak, sareng si mas sehat selamet, pendak deui sareng mamah ...", katanya sambil mengelus-elus punggungku.
Kuusap air matanya dan berkali-kali kuciumi. Tak terbayang seandainya saya kehilangan mamah.... Dan saya merasa, hampir saja saya kehilangannya. Bayangan mamah yang terbaring lemah di Rumah Sakit berkelebat. Saya peluk lagi mamah, kali ini lebih erat.  "Yaa Allah, tolong jaga mamahku". Doaku dalam hati sambil melepas pelukannya.

Mamahku yang mungil, mamahku yang ringkih, mamahku yang luar biasa. Mamahku yang tegas, mamahku yang super, mamahku yang juara.
Jika teman-teman tahu nomer whatsapp-ku, pasti teman-teman pernah membaca, ada tulisan yang tidak pernah saya ganti di situ. HOME IS WHERE YOUR MOM IS.

























Komentar

  1. Smf sllu sehat utk mamahnya mb geta. Jd ingat crta teman yg sakit dijepang, katanya sih treatmentnya bukan dr diet. Malah boleh makan apa saja, hanya di atur dari porsi dan waktu makan saja.

    Innalillahi wainna ilaihirajiuun. Smg husnul khotimah utk ua mb geta ya .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh gitu ya..makasih infonya mbak Jilly. Makasih juga untuk doanya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer