Antara Aku, Kau dan Baju Setrikaan

Sudah sekitar 7 tahun lalu saya berhenti menyetrika. Semua tumpukan baju yang sudah dijemur itu hanya saya lipat dan masuk ke lemari pakaian.

Kutatap lagi tumpukan baju yang telah beres kusetrika. Lelah, pegal pasti. Tapi ada kebahagiaan tersendiri. Aku bisa, mampu, kuat menyetrika lagi. Sejak hamil dan melahirkan anak ke-2, sejak itu saya sakit-sakitan. Abses payudara yang kemudian berakhir dengan operasi, ternyata tidak benar-benar mengakhiri. Dari bekas operasian keluar nanah dan darah yang sangat banyak. Bolak balik ke RS dengan menggendong bayi kecil beberapa bulan. Sejak itu, meski dalam demam, saya tetap memberi ASI, tetap mengajar TPA dan tetap melakukan semua sendiri. Tapi ada satu hal yang mau tak mau saya tinggalkan, karena terbatasnya kemampuan. Saya tak mampu menyetrika baju, bahkan untuk melipatnya butuh waktu. Tak jarang tumpukan baju itu berserakan di lantai begitu saja. Terlebih ketika anak kedua saya berhasil disapih di usia 2 tahun, benjolan di payudara saya kembali membesar dan harus diangkat kembali. Setelah beberapa kali check dan akan diambil tindakan, ternyata qadarullah saya kembali hamil anak ketiga. Dan saya kembali mengalami 2 kali operasi, caesar dan payudara. Setelahnya tubuh rasanya semakin ringkih, tak bisa bekerja terlalu lama dan berat. Saya berhenti mengajar dan tetap tak mampu menyetrika.

Sering sekali saat memakaikan mereka pakaian rumah yang terlihat lecek karena tak disetrika, ada perasaan sakit bahwa saya tak bisa menjadi istri dan ibu terbaik untuk keluarga. Terlebih ada beberapa teman yang kadang tanpa memberitahu dulu akan berkunjung, melihat bagaimana porak porandanya rumah saya. Apalagi yang secara sengaja atau tidak, mereka melihat bagaimana pakaian itu menumpuk bergunung-gunung. Malu, sakit, sedih, merasa tak berharga. Saya tau mereka rapi rumahnya, bersih dapur dan kamar mandinya. Berbanding terbalik dengan rumah saya.

Dulu sering saya memaksakan diri, mengerjakan ini itu seperti teman-teman yang lain. Tapi setelahnya saya sakit berhari-hari. Suami mengingatkan, untuk tidak membanding-bandingkan dengan yang lain.

Tapi minggu ini, ya baru minggu ini, saya merasa badan ini sudah tak selemah dulu. Sejak si bungsu sekolah, saya lebih punya waktu untuk me time dan beristirahat. Saya coba menyetrika kembali, dan berhasil mengosongkan satu keranjang penuh. Saya senang, saya bahagia, meski setelahnya harus dipijat dan dibekam. Hari ini, kembali saya menyetrika sambil mendengarkan ceramah agama di laptop. "Dasar emak-emak zaman now", kata adik saya ketika dikirimkan foto tumpukan setrikaan. Saya senang, saya bahagia. Sesederhana itu.

Teman, bagi kalian yang masih tertatih dalam urusan domestiknya, bersabarlah, take your time. Suami dan anak-anak butuh istri dan ibu yang bahagia. Buat skala prioritas, dan lakukan kegiatan berdasarkan itu, jangan ngoyo. Turunkan idealisme kita, jangan terlalu perfeksionis. Hargai dan cintai diri kita sendiri.

Bagi teman, yang melihat temannya seperti itu, pahamilah keadaannya. Caritahu penyebabnya dan bantu jika memungkinkan. Besarkan hatinya dan  temani kesedihannya. Jangan menghakimi dan jangan membuatnya malu dengan membanding-bandingkannya dengan dirimu. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, begitu juga dirinya dan dirimu. Teman yang baik akan selalu ada tanpa perlu diminta. Untuk mendengarkan dan membesarkan hati.

Terakhir, mari kita sama-sama berdo'a, semoga lelahku dan lelahmu, menjadi tabungan pahala yang akan menghantarkan kita semua ke Surga Allah nanti. Aamiin.










Komentar

Postingan Populer