Mimpi yang Tak Sederhana

"Mbak, apakah mbak benar-benar yakin bahwa nanti akan dicintai?" tanya saya padanya. Ta'aruf singkat kemudian beberapa minggu setelahnya merencanakan menikah masih menakutkan bagi saya saat itu.

Musyrifah saya tersenyum, "In syaa Allah yakin ... rasa cinta itu kan gharizah nau, naluri untuk melestarikan jenis, dia akan muncul jika ada rangsangan dari luar. Witing tresno jalaran soko kulino kata orang jawa. In syaa Allah jika kita berniat sungguh-sungguh karena Allah, cinta akan tumbuh dengan sendirinya, mbak yakin itu".

Mata saya menerawang, mencoba mencerna setiap kata, mungkinkah? Musyrifah saya ini begitu sederhana, baik tampilan fisik ataupun gaya hidupnya. Agak berbeda dengan calon ikhwan yang mengkhitbahnya. Saya yang saat itu baru belajar ikut-ikut kajian, masih belum bisa memahami.

Tahun demi tahun berlalu, beliau telah menikah dengan ikhwan pilihannya, begitupun saya. Karena berbeda wilayah, kami jarang bertemu, hanya sesekali dalam kajian bulanan. Suatu hari, saya kaget mendengar kabar tentangnya.

"Mbak P menjual rumahnya dan akan pindah ke pelosok desa untuk membangun pesantren Tahfidz. Dan suami beliaupun telah keluar dari tempatnya bekerja agar fokus mengembangkan pesantren", kata seorang teman pada saya.

Maa syaa Allah, takjub saya mendengarnya, terlebih karena saya tahu suami beliau senior staf, rela meninggalkan semuanya demi niat yang mulia.

Saat mempunyai kesempatan, saya menemui beliau dan menanyakan alasannya.
"Kami ingin membuat sejarah, harus ada lompatan dan kesungguhan untuk itu. Kami ingin lebih berguna untuk ummat dengan melahirkan generasi penghafal Quran, calon ulama masa depan", katanya sambil tersenyum.

"Kebetulan ada yang wakaf tanah, dari hasil menjual rumah, kami membuat beberapa bangunan sederhana. Modal nekad dan kepercayaan, saya berhutang sampai tiga ratus juta pada pemilik toko bangunan. Semula saya bingung bagaimana membayarnya, tapi Alhamdulillah saya mendapatkan jatah warisan dari Almarhum bapak, saya jual dan saya tutup semua hutangnya", katanya dengan suara parau.

Tak terasa mata saya sudah banjir, terharu dengan dengan perjuangan dan ketulusan beliau.

"Hampir sembilan puluh persen dari santri di sini anak-anak yatim. Orang tua mereka banyak yang bekerja sebagai pemulung atau buruh pabrik. In syaa Allah kami gratiskan. Ada beberapa donatur yang membiayai setiap bulannya".

"Maa syaa Allah mbak, in syaa Allah kami ikut programnya, izinkan kami mendapatkan bagian pahala juga", kata saya sambil berkaca-kaca.

Hampir satu dasawarsa berlalu, kini pesantren Tahfidz semakin berkembang. Tanah-tanah di sekelilingnya telah dibeli dan dijadikan agro bisnis untuk menghidupi para santri. Mereka menanam sayuran dan memelihara hewan kurban. Menjelang lebaran haji, hewan-hewan itu dijual dan hasil penjualannya dipakai untuk mengumrohkan keluarga besar pesantren. Dari sanalah kemudian dibuka bisnis travel umroh.

Bukan hanya itu, karena tiga anak beliau bersekolah di Mesir hingga masuk universitas Al Azhar, maka dibuatlah program pesantren yang memungkinkan para santri mudah melanjutkan studi ke negeri Kinanah tersebut.

Foto-foto beliau semakin sering lewat di beranda, masih dengan kesederhanaan yang sama. Terakhir beliau memberi kabar, sedang berangkat ke Baitullah untuk menyempurnakan rukun Islamnya. Musyrifahku, sosok sederhana yang berhasil mewujudkan mimpinya yang tak sederhana.
Barakallahu fikum.




Komentar

Postingan Populer