Mahadewi
Tanggal pernikahan langsung ditentukan. Lima minggu setelah khitbah. Kami selanjutnya menjalani masa ta'aruf. Setiap hari beliau menelepon, sepertinya kami berdua sedang berusaha memantapkan diri dan mencari tahu tentang pemikiran dan pandangan hidup masing-masing.
Dari yang saya tahu, khitbah tak selalu berujung pernikahan. Pada proses ta'aruf bisa saja salah satu pasangan memutuskan untuk tidak melanjutkan, karena merasa ada ketidakcocokan, tentu dengan cara yang ma'ruf. Jadi pada proses ini, hati sebaiknya jangan terlalu jauh dilibatkan agar kita bisa tetap fokus dan rasional.
Kenapa saya menerima ? Karena secara syar'i tidak ada alasan saya untuk menolak. Se-simple itu In syaa Allah.
Ta'aruf bukan pacaran. Meski telah khitbah, tetap tidak menghalalkan yang haram. Karena di dalam Islam, tak mengenal konsep pacaran, meskipun diakali dengan embel-embel Islami. Dalam ta'aruf kita tetap tidak boleh khalwat atau berdua-duaan. Boleh berinteraksi tapi hanya sebatas kebutuhan untuk tujuan pernikahan.
"Akhi maaf, bisakah membacakan Al Quran untuk saya sekarang?". Pinta saya suatu kali di telepon.
"Sekarang?". Tanya suara di seberang sana. Saya tahu beliau baru saja pulang dari shift malam, tentu ini bukan saat yang tepat, tapi saya tertarik untuk mencari tahu reaksi sekaligus bacaannya.
Beliau kemudian membacakan beberapa ayat di pertengahan surat Al Baqarah. "Lumayan, not bad lah", dalam hati saya bergumam.
Lain waktu saya menanyakan tentang tujuan menikah dan apa visi misi beliau dalam kehidupan ini.
"Menikah adalah komitmen, saya ingin kita bisa masuk Surga bersama-sama". Katanya. "Eum, jadi pengen cepet-cepet ... ". Katanya lagi.
Kami berdiskusi tentang konsep pernikahan, surat-surat yang harus dipersiapkan, biaya pernikahan, mahar dan dimana nanti kami akan tinggal. Hampir semua lewat telepon.
Calon adik ipar dikirim ke rumah, menginap. Kami berkenalan dan mengobrol lama. Saya berjanji mengajaknya ikut kajian. Semua dimudahkan.
-
Waktu berjalan, hari berganti, bulanpun berlalu. Tiba saatnya hari yang dinanti. Ketika memperhatikan kesibukan keluarga mempersiapkan acara, hati berdebar, senang, takut dan khawatir. Ketika tenda dipasang, dan kursi-kursi ditata, hati semakin tak karuan. Tasbih selalu dipegang, berusaha terus berdzikir berharap sedikit tenang.
"Saya tak begitu mengenalnya, sudah siapkah untuk hidup bersama selamanya? Bagaimana jika perangainya ternyata tak sebaik kelihatannya?". Pikiran negatif beberapa kali datang membuat gelisah.
Perkuat doa, hanya itu yang saya punya. Tawakal, berusaha tetap yakin keputusan Allah pasti terbaik. Kami tak pernah saling mencari, Allah-lah yang mengikatkan hati. Perenungan saya sampai pada suatu tekad, bahwa apapun yang terjadi nanti, saya akan berusaha untuk menjadi istri shalehah. Baik tidaknya beliau nanti, menjadi tak lagi masalah, karena saya yakin, kita akan dimintai pertanggung jawaban sendiri-sendiri di hadapan Allah kelak. Pemikiran seperti itu mulai menentramkan hati saya.
Malam sebelum pernikahan, keluarga calon mempelai pria sudah datang. Mereka menginap di salah satu rumah keluarga besar kami. Handphone bergetar, ada SMS masuk. Saya membacanya perlahan.
"Alam raya pun semua tersenyum
Menunduk dan memuja hadirnya
Terpukau aku menatap wajahnya
Aku merasa mengenal dia
Tapi ada entah di mana
Hanya hatiku mampu menjawabnya
Mahadewi resapkan nilainya
Pencarianku pun usai sudah ...".
-
Saya tersenyum. Semakin yakin. Bismillah ...
----
The End
Komentar
Posting Komentar