Ikhwan Pilihan
Seorang ikhwan dari kota tempat saya bekerja mengirimkan biodata. Inilah sepertinya jawaban dari do'a-do'a. Sebelum resign, saya memang menitipkan biodata kepada guru ngaji saya untuk dicarikan ikhwan pilihan. Saya memutuskan kembali ke dunia saya mengajar anak-anak dan tinggal di kota tempat saya berkuliah dulu.
Malam harinya sang ikhwan menelepon, memastikan saya telah menerima biodatanya, sekaligus menanyakan apakah saya bersedia melanjutkan prosesnya. "In syaa Allah", jawab saya ketika itu. Sang ikhwan mengatakan, dia akan mengunjungi saya di rumah om saya besok sore.
-
Ternyata beliau benar-benar datang. Kami hanya bertegur sapa sekedarnya. Selanjutnya om dan budhe, tetangga sebelah rumah yang sudah saya anggap keluarga, mengobrol banyak dengan beliau. "Anaknya baik, shalih dan sudah punya pekerjaan tetap". Jawab Budhe ketika saya menanyakan tanggapan beliau pada tamu kami.
Seperti yang sudah bisa ditebak, malamnya sang ikhwan menelepon, dan kembali menanyakan apakah setelah bertemu, saya bersedia melanjutkan proses ini. "Ya, In syaa Allah", jawab saya. Hati saya semakin yakin, mungkin beliaulah orangnya. "Kalau begitu, In syaa Allah saya akan datang ke rumah orang tua ukhti untuk melamar, hari Ahad nanti. In syaa Allah kalau jodoh pasti akan dimudahkan", katanya lagi.
-
"Aku akan dikhitbah ...". Ah rasanya berbunga-bunga. Meski belum mengenal, tapi saya yakin ini baik karena dilakukan dengan cara-cara yang baik.
Tak sabar saya ingin mengabarkan berita gembira ini pada musyrifah (ustadzah). Bergegas saya menuju rumah beliau dan menceritakannya. Tanggapan tak terduga saya terima. Alih-alih ikut berbahagia, beliau malah seperti kebingungan.
"Waduh, jadi ikhwan yang di sini gimana, dia berniat mengkhitbah juga akhir tahun ini lho ...". Katanya, membuat saya terkejut.
"Siapa mbak, saya gak tau tuh ...?".
"Ada, nanti biar saya ngobrol dulu sama Abinya. Tahan dulu jangan dulu khitbah, tunggu kabar berikutnya".
Lunglai saya pulang ke rumah, diliputi kegelisahan dan tanda tanya, siapa sebenarnya yang dimaksud musyrifah saya itu.
Malam, ketika si ikhwan menelepon, saya ceritakan semuanya. Saya memohon maaf kalau hal itu mengganggu perasaannya. Dengan suara yang agak tersendat, kembali dia meyakinkan jika jodoh pasti dimudahkan.
-
Besoknya, hari rabu pagi, saya kembali menuju rumah musyrifah untuk mendapatkan kepastian. Di Angkot tiba-tiba handphone saya berdering.
"Assalamu'alaikum, saya dengar ukhti siap dikhitbah, In syaa Allah saya siap mengkhitbah".
"Deg". Sepertinya saya kenal suara ini, lelaki tetangga sebelah. "Darimana dia tahu nomer saya?".
"Maaf, ini dengan siapa ya?", saya ingin memastikan, berusaha tetap tenang meski hati bergemuruh tak karuan. Kaget, heran, bingung dan senang menjadi satu. Kalau boleh jujur, dulu sejak pertama kali lelaki ini menelepon ke rumah menanyakan tentang buletin pengajian, suaranya terdengar menentramkan.
"Saya Wah, In syaa Allah saya siap melamar ukhti", katanya lagi.
"Saya sedang di jalan, silahkan menelepon lagi nanti sore".
Inikah yang dimaksud musyrifah saya itu ? Lelaki tetangga sebelah? Bagaimana ceritanya? Lalu apa yang harus saya sampaikan pada ikhwan yang baik hati itu ?
----
To be continued
Komentar
Posting Komentar