Dilan dan Anak Kita
" Mi, udah pernah nonton belum film Dilan, mas udah, coba deh umi nonton".
"Debb". Rasanya ada yang menimpa dadaku sesaat. Meski sayup-sayup terdengar karena hanya memakai jaringan gratis, tapi dampaknya menggelegar. Sesaat saya limbung tapi kemudian menguasai diri. Saya kemudian bertanya dan berbincang-bincang sesantai mungkin dengan si sulung saya di seberang telpon sana.
"Terus pelajaran apa yang mas dapat dari film itu?". Sambil berdebar saya menunggu jawabannya.
"Mas jadi tahu quotes-quotes". Jawaban yang tak terduga.
"Oh apa aja itu mas?".
"Banyaklah, misalnya kalo kau takut kalah jangan berperang".
"Oh gitu, tapi mas tau kan kalo pacaran itu gak boleh?" Saya hanya ingin memastikan.
"Iyalah, itu mas udah tau, umi jangan khawatir".
Tiba-tiba saja beban berat tadi perlahan menguap, saya merasa ringan kembali. Dalam hati reflek berdoa' "Alhamdulillah Ya Rabb, lindungi anak-anak kami dari kejahatan dan kejelekan, Aamiin".
Bunda, terkadang kita lupa saat anak-anak semakin besar, bukan hanya fisiknya saja yang tumbuh, tapi juga nalurinya. Dan sifatnya naluri akan muncul jika dipikirkan, atau ada fakta terindera, baik tontonan ataupun apa yang ia dengar.
Seni Tarik Ulur
Dulu mungkin tak terbayangkan seperti apa prakteknya. Tapi setelah saya mempunyai anak remaja, ternyata ilmu ini mutlak diperlukan. Bagaimana agar anak nyaman ngobrol sama kita, tanpa kehilangan peran kita sebagai orangtua. Indahnya menahan emosi saat mendengarkan curhat dan berbagai ceritanya. Tetap tersenyum dan mencoba menyelipkan nasehat terbaik meski hati bergemuruh, menahan peluru kata yang siap meluncur ribuan kali banyaknya. Mempunyai anak remaja ternyata seperti naik roller coaster. Hati kita harus siap melambung dan terhempas dalam waktu yang hampir bersamaan.
Percayalah bunda, anak-anak kita tak setenang seperti penampakannya. Sesungguhnya mereka sedang berproses, menemukan jati dirinya. Seperti apa mereka nanti, sangat ditentukan dari apa yang mereka serap sekarang. Tugas kita membantu mereka menemukan formula yang pas agar sukses dunia akhiratnya.
Krisis Idola
Semua zaman, punya icon-nya masing-masing. Kalau dulu di era 70-an ada Ali Topan Anak Jalanan, tahun 80-an ada Catatan si Boy, maka di zaman milenial ini ada Dilan. Muda, kaya, agak slengean, anti mainstream, dan disukai cewek-cewek cantik menjadi benang merah dari semuanya. Tak heran jika banyak remaja ikut mengidolakannya. Tapi apakah itu yang kita harapkan?
"Anakku tidak". Sebagian bunda mungkin akan menjawab seperti itu. Dilan mungkin tidak, tapi mungkin sosok lain. Oppa? Bisa jadi.
Bangkit Perbaiki Diri
Bunda, sejatinya ini adalah tamparan untuk kita para orang tua yang terlambat menghadirkan sosok idola untuk anak-anak generasi milenia. Bagaimana mereka akan suka jika mereka tak pernah tahu tentang sosok Rasulullah yang mulia dan para sahabatnya yang luar biasa.
Ayo kita ceritakan tentang kisah Ali bin Abi Thalib yang ber-Islam dengan baik sejak masih remaja. Rafi' bin Khadij lima belas tahun, sang pemanah yang menyertai Rasulullah saat perang Uhud. Atau Usamah bin Zaid, panglima Rasulullah yang memimpin tentara Islam untuk menyerbu Syiria yang masih berusia dua puluh tahun. Zaid bin Tsabit yang masuk Islam saat berusia sebelas tahun, dan dipercaya menjadi sekretaris Rasulullah.
Mungkin juga kita luput menceritakan bagaimana gagahnya Muhammad Al fatih membebaskan Konstantinopel di usia yang masih remaja. Atau Shalahudin Al Ayyubi, seorang pemuda shalih yang memimpin pasukan membebaskan Palestina.
" Mi, udah pernah nonton belum film Dilan, mas udah, coba deh umi nonton".
"Debb". Rasanya ada yang menimpa dadaku sesaat. Meski sayup-sayup terdengar karena hanya memakai jaringan gratis, tapi dampaknya menggelegar. Sesaat saya limbung tapi kemudian menguasai diri. Saya kemudian bertanya dan berbincang-bincang sesantai mungkin dengan si sulung saya di seberang telpon sana.
"Terus pelajaran apa yang mas dapat dari film itu?". Sambil berdebar saya menunggu jawabannya.
"Mas jadi tahu quotes-quotes". Jawaban yang tak terduga.
"Oh apa aja itu mas?".
"Banyaklah, misalnya kalo kau takut kalah jangan berperang".
"Oh gitu, tapi mas tau kan kalo pacaran itu gak boleh?" Saya hanya ingin memastikan.
"Iyalah, itu mas udah tau, umi jangan khawatir".
Tiba-tiba saja beban berat tadi perlahan menguap, saya merasa ringan kembali. Dalam hati reflek berdoa' "Alhamdulillah Ya Rabb, lindungi anak-anak kami dari kejahatan dan kejelekan, Aamiin".
Bunda, terkadang kita lupa saat anak-anak semakin besar, bukan hanya fisiknya saja yang tumbuh, tapi juga nalurinya. Dan sifatnya naluri akan muncul jika dipikirkan, atau ada fakta terindera, baik tontonan ataupun apa yang ia dengar.
Seni Tarik Ulur
Dulu mungkin tak terbayangkan seperti apa prakteknya. Tapi setelah saya mempunyai anak remaja, ternyata ilmu ini mutlak diperlukan. Bagaimana agar anak nyaman ngobrol sama kita, tanpa kehilangan peran kita sebagai orangtua. Indahnya menahan emosi saat mendengarkan curhat dan berbagai ceritanya. Tetap tersenyum dan mencoba menyelipkan nasehat terbaik meski hati bergemuruh, menahan peluru kata yang siap meluncur ribuan kali banyaknya. Mempunyai anak remaja ternyata seperti naik roller coaster. Hati kita harus siap melambung dan terhempas dalam waktu yang hampir bersamaan.
Percayalah bunda, anak-anak kita tak setenang seperti penampakannya. Sesungguhnya mereka sedang berproses, menemukan jati dirinya. Seperti apa mereka nanti, sangat ditentukan dari apa yang mereka serap sekarang. Tugas kita membantu mereka menemukan formula yang pas agar sukses dunia akhiratnya.
Krisis Idola
Semua zaman, punya icon-nya masing-masing. Kalau dulu di era 70-an ada Ali Topan Anak Jalanan, tahun 80-an ada Catatan si Boy, maka di zaman milenial ini ada Dilan. Muda, kaya, agak slengean, anti mainstream, dan disukai cewek-cewek cantik menjadi benang merah dari semuanya. Tak heran jika banyak remaja ikut mengidolakannya. Tapi apakah itu yang kita harapkan?
"Anakku tidak". Sebagian bunda mungkin akan menjawab seperti itu. Dilan mungkin tidak, tapi mungkin sosok lain. Oppa? Bisa jadi.
Bangkit Perbaiki Diri
Bunda, sejatinya ini adalah tamparan untuk kita para orang tua yang terlambat menghadirkan sosok idola untuk anak-anak generasi milenia. Bagaimana mereka akan suka jika mereka tak pernah tahu tentang sosok Rasulullah yang mulia dan para sahabatnya yang luar biasa.
Ayo kita ceritakan tentang kisah Ali bin Abi Thalib yang ber-Islam dengan baik sejak masih remaja. Rafi' bin Khadij lima belas tahun, sang pemanah yang menyertai Rasulullah saat perang Uhud. Atau Usamah bin Zaid, panglima Rasulullah yang memimpin tentara Islam untuk menyerbu Syiria yang masih berusia dua puluh tahun. Zaid bin Tsabit yang masuk Islam saat berusia sebelas tahun, dan dipercaya menjadi sekretaris Rasulullah.
Mungkin juga kita luput menceritakan bagaimana gagahnya Muhammad Al fatih membebaskan Konstantinopel di usia yang masih remaja. Atau Shalahudin Al Ayyubi, seorang pemuda shalih yang memimpin pasukan membebaskan Palestina.
Komentar
Posting Komentar