Mamah Juara

"Kakak, teu kenging ngirit-ngirit teuing, mamah alim kakak teu damang. Du'akeun mamah aya rezeki nya ngarah mamah tiasa ngagentosan kurabu kakak anu ical tea".

Ah Mamah, masih teringat isi surat mamah puluhan tahun silam, saat saya tinggal di pondok. Ketika orang tua lain menyuruh anaknya agar mengirit uang saku, Mamah malah sebaliknya.

Surat itu dititip tetangga dekat yang baru pulang ke rumah. Surat dengan tulisan latin menyambung khas tulisan tangan Mamah dan diselipi uang sepuluh ribu di dalamnya untuk bekal saya selama satu bulan.
Mamah begitu mengerti meski saya tak minta diberi.

Sejak saya SMP kelas 1 Mamah sudah menjadi tulang punggung keluarga. Mamahlah yang selalu menandatangani raport anak-anaknya. Mamah yang setiap tahun ajaran baru,  selalu menyiapkan semua perlengkapan sekolah kami yang baru. Buku-buku, pensil, penggaris, penghapus dan segala printilan lainnya.

Mamah selalu memperhatikan pakaian dalam anak-anaknya, yang bahkan kami sendiripun tak begitu memikirkannya. Kami, tiga anak perempuan anak kandung mamah, dan satu anak laki-laki yang tumbuh dari hati Mamah, merasakan kasih sayang Mamah tanpa kecuali.

Mamah juara
Mamah pahlawanku. Sikap tegas Mamah pada kami, karena menginginkan kami mandiri. Disiplin Mamah sangat tinggi, terutama jika itu menyangkut pendidikan.

Harus sekolah, harus belajar, harus ranking, tak boleh bolos meski dalam keadaan apapun, kecuali jika benar-benar sakit.

Masih saya ingat dulu, Mamah mengantar dan menjemput kami mengaji di bawah guyuran hujan besar dan kilat menyambar. Di madrasah, kami berteriak girang saat Mamah datang dengan payung besar.

Doa Mamah
Saat SMA, saya yang dari kampung ini sempat minder, bergaul dengan teman-teman dari kota yang umumnya berada. Dan saat saya mengadu, apa yang dikatakan Mamah untuk membesarkan hati saya?
"Mereka makan nasi kakak makan nasi. Jangan malu, jangan takut. Emang kakak minta-minta ke mereka, kan enggak", katanya tegas.

Suatu waktu saya bercerita bahwa teman sebangku saya dapat uang jajan yang banyak, sehingga bisa membeli majalah setiap minggu. Lain waktu saya curhat kalau mereka pergi berwisata tapi saya tak mempunyai cukup uang untuk bisa ikut.
Mamah hanya bilang : " Sabatae, semua ada waktunya. Suatu saat nanti mamah doakan semoga kakak bisa seperti itu".

Dan Maa Syaa Allah doa Mamah terkabul, lihatlah saya sekarang, pergi merantau ke belahan bumi yang lain. Menjelajahi dunia dan tinggal bermukim di negeri orang. Jauh dari kampung kecil kami.

Pernah suatu kali, Mamah memakaikan saya gelang. Katanya, agar saya lebih lebih percaya diri. Belakangan saya tahu, itu adalah gelang pinjaman dari teman Mamah.
Saya pakai gelang itu ke sekolah dengan hati yang riang, tanpa tahu resiko yang harus Mamah ambil, jika gelang itu hilang.

Sekarang, hampir semua saya simpan di Mamah agar bisa Mamah pakai.  "Mamah tak butuh perhiasan, Mamah cuma mau pakai doang daripada gak ada yang memakainya," katanya sambil tertawa senang.

Ada satu hal lucu. Setiap kali mudik dan pulang ke rumah, Mamah selalu menyuruh saya memakai perhiasan. "Pakailah, jangan terlalu polosan gitu, suaminya kerja di luar negeri kok!" katanya.

Sejak saat itu saya mulai rajin membeli cincin dan gelang yang unik khas Arab untuk menyenangkan hatinya.
"Pakai ini Mah bagus".
"Liat ini mah cincinnya bertingkat".
"Ini buat mamah cincin Al jazeera, keren lho Mah".
Dan saya sangat bahagia melihat ekspresi senang di wajah mamah.

Ah Mamah, saat sudah menjadi Ibu, saya jadi tahu, bagaimana hancurnya hati Mamah ketika anaknya mengeluhkan keadaan. Ketika anaknya minder bergaul dengan teman-teman sekolahnya.

Saya tahu bagaimana rasanya seorang ibu, ktika tidak bisa memberikan apa yang anak inginkan. Saya bisa merasakan apa yang mamah rasakan dulu.

Maafkan saya ya Mah, seandainya dulu saya semengerti sekarang, saya tak akan membuat Mamah sedih. Tak akan saya biarkan satu hal pun mengganggu pikiran mamah. Saya akan syukuri segala kesederhanaan hidup kita.

"You were the sun that brightened my day
Now who's going to wipe my tears away
If only I knew what I know today
Mother I'm lost without you". (Mother, Sami Yusuf)

Pernah suatu kali, di perjalanan pulang dari kantor, Mamah kehilangan uang dua puluh ribu rupiah. Saat itu saya masih sekolah, dan uang sebesar itu bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup beberapa hari.

Saya masih ingat,  Mamah bolak-balik mencari uang itu di saku baju, di dalam tas, di halaman rumah, tak juga ditemukan. Mamah kembali lagi dibonceng bapak naik motor, menyusuri jalan sampai ke kantor dan kembali ke rumah, dengan tangan kosong.

Melihat mamah seperti itu, dalam hati saya berjanji, suatu saat nanti ketika saya sudah mempunyai uang sendiri, akan saya ganti uang Mamah yang hilang itu.

Dan Alhamdulillah, saat saya kuliah sambil mengajar, sudah saya tebus janji itu. Mamah tersenyum saat saya ceritakan semuanya. "Nuhun, haturnuhun, sok sing kagentosan deui...."

Sekarang, setiap mendapatkan kabar Mamah kembali sakit, terbaring lemah tak berdaya, bolak-balik pergi ke dokter, keluar masuk rumah sakit untuk dirawat, hati saya hancur. Terlebih jarak yang memisahkan kami ratusan kilometer membuat saya tak bisa dengan mudah menjumpai Mamah. Memeluk dan mencium Mamah. Meminta maaf dan memastikan Ridho Mamah selalu ada buat saya.

"Mah ... Mamah yang kuat, Mamah harus bersemangat untuk sembuh. Mamah harus menghadiri wisuda si Bujang beberapa bulan lagi dan menikahkannya tahun ini. Seperti cita-cita Mamah, kita in syaa Allah akan berangkat umroh bersama. Mamah harus sehat lagi...."

Mamah sayang, tunggu saya ya. Saya akan pulang dan kita akan bersama lagi.

I love you Mah ...





Komentar

Postingan Populer