Yaa Rabbi hamba Rindu

Umi udah nulisnya, sekarang ngaji". "Aku dulu aku juga udah". "Aku duluan". "Aku duluan ... iyakan umi ... ?
Sungguh ramai rumah kami saat itu, penuh suara-suara kecil berceloteh. Ada yang menulis, ada yang mengobrol, ada yang menghafal, ada juga yang berantem setelah adu mulut. Saya bersabar penuh konsentrasi mendengarkan anak yang sedang membaca Iqro di hadapan. Sesekali saya menegur mereka dengan suara agak ditinggikan. Sesaat diam, tapi lima menit kemudian kembali riuh. Setelah semua murid selesai mengaji, saya kemudian berdiri, menarik perhatian mereka dengan nasyid-nasyid Islami, diselingi dengan hafalan doa harian dan surat-surat pendek. Tak lupa, ada yang spesial di kelas kami, anak-anak saya ajarkan menghafalkan ayat-ayat pendek tentang keseharian dengan memakai isyarat tangan. Mereka sangat antusias sekali. Dan untuk mengevaluasinya, saya tinggal memeragakan gerakan tangan dan mereka langsung menebak surat dan ayatnya. Maa syaa Allah ...



Tapi itu dulu. Sekarang semua seakan menjauh, tinggal kenangan indah. Banyak hal yang membuat saya tak bisa mengajar anak-anak lagi.

Dunia anak-anak memang duniaku. Sejak zaman kuliah saya mulai berkecimpung mengajar anak-anak mengaji. Ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat binar mata mereka saat saya ajarkan kalimat-kalimat Allah. Ada kesungguhan yang mengagumkan saat mereka dengan terbata-bata membaca huruf hijaiyah. Ada kebanggaan yang bertumpah ruah saat mereka sukses menghafal, mengerti dan faham  tentang materi yang telah kita ajarkan. Teman, semua rasa itu tak berbilang harganya.

Setelah menikah, rumah kami menjadi tempat anak-anak tetangga mengaji selepas magrib. Jika sewaktu-waktu kami telat pulang dari bepergian, mereka sudah duduk berkumpul di depan teras rumah. Pertengahan tahun 2008 kami pindah ke Qatar, dan di sini pun aktifitas saya mengajar anak-anak tidak terhenti. Semula hanya anak-anak tetangga, kemudian meluas ke komunitas. Semula hanya ada 1 kelas, kemudian berkembang menjadi 3 kelas dengan rentang usia yang berbeda-beda. Saya mengajak beberapa teman untuk ikut membantu mengajar dan membuat silabus pelajaran bersama. TPA Amanah yang kami kelola bertahan beberapa tahun, hingga akhirnya qadarullah beberapa hal terjadi.

Mudik yang Membawa Cerita
Mei 2013, ketika kehamilan anak ketiga saya berusia 5 bulan, kami mudik ke Indonesia. Rencana hanya 1 bulan saja, agar menjadi booster untuk persalinam saya nanti. Ternyata saat waktunya balik kembali ke perantauan, Al anak kedua kami  terserang diare, padahal 2 hari lagi kami harus terbang. Dengan bantuan teman, tiket suami diundur 2 hari. Tapi ternyata Al masih belum sembuh dan harus dirawat 4 hari lamanya di Rumah Sakit. Setelah berdiskusi dan melihat keadaan Al, akhirnya kami memutuskan bahwa saya dan anak-anak akan tinggal sementara di kampung halaman dan melahirkan di sana.

Saat suami tinggal sendirian di Qatar, perusahaan tempat suami bekerja mengharuskan semua karyawannya untuk pindah tempat tinggal ke compound yang baru. Karena hanya tinggal sendirian, suami mengajukan surat untuk menyewa rumah sendiri di luar compound. Dengan pertimbangan sisa uang sewa rumah bisa untuk membeli tiket lebih, agar bisa sering pulang menengok keluarga.

Saya Sakit
Benjolan payudara saya semakin membesar. Saat hamil 8 bulan saya melakukan operasi payudara dan setelah diperiksa, hasil lab menyatakan saya terkena TB payudara dan harus meminum obat TB 10 bulan lamanya. Saat anak ketiga saya berumur dua setengah bulan, suami memboyong kami semua kembali ke Qatar.

Tiga kali operasi secar dan tiga kali operasi payudara kiri sepertinya mempengaruhi kekuatan fisik saya. Mengurus 3 anak laki-laki tanpa asisten dan suami yang bekerja daily ternyata lumayan juga rasanya. Perpaduan antara kurang tidur dan kecapean menyebabkan tubuh sebelah kiri saya sering sakit, mulai dari leher, bahu, tangan dan punggung sebelah kiri, terasa berat dan ngilu. Sakitnya merambat hingga ke dada sebelah kiri. Tak hilang jika tidak berbekam (hijaamah).

Yaa Rabbi hamba Rindu
Di lingkungan baru ini saya dikelilingi tetangga Indonesia. Saat anak-anak liburan kami pernah membuat acara Diklat Anak selama beberapa hari. Setelahnya, mereka kemudian meminta saya untuk mengajar anak-anak setiap sore. Sayapun menyanggupi, 2 hari anak-anak besar dan 2 hari untuk anak-anak kecil. Baru berjalan 2 minggu hingga akhirnya saya sakit hampir selama 2 minggu juga. Suami saya bilang "umi kecapean itu ... udah umi sekarang fokus aja ke anak-anak kita, ajarin mereka aja gak usah ke yang lain dulu".

Masih penasaran, beberapa bulan kemudian saya coba kembali mengajar. Kali ini hanya anak kecil yang seumuran Al dan H. Ternyata hanya berjalan beberapa minggu juga, dan saya kembali sakit. "Makanya kata Abi juga udah, ajarin anak sendiri aja, jangan cape-cape". Suami kembali mengingatkan. "Cape apa sih Bi, perasaan umi cuma gini-gini doang, gak terlalu rajin seperti ibu-ibu lain". Jawab saya sambil memelas. Saya sesungguhnya heran dan tak habis pikir kenapa sekarang mudah sekali sakit. " Ya jangan bandingin sama orang-orang ... umi ya umi, Abi gak pernah banding-bandingin umi sama yang lain kok, kan beda, latar belakangnya pun beda". Kata suami panjang lebar.

Jadi beginilah saya sekarang, seperti kehilangan dunianya. Merasa kurang produktif dan kurang berarti. Saya ingin berbuat sesuatu untuk ummat, ikut berjuang membentuk peradaban. Ingatan saya kembali pada saat-saat menjadi mahasiswi, ikut longmarch ke ibu kota, hadir di seminar-seminar, roadshow ke berbagai majlis Ta'lim dan mengisi kajian di beberapa radio. Yaa Rabbi ... hamba kangen. Kangen dengan semua aktifitas itu. Kangen hujan-hujanan di motor saat pergi mengisi kajian. Kangen repotnya menggendong anak sambil mengajar. Kangen dengan celoteh anak-anak di TPA. Kangen melihat mata bening mereka. Dilan, rindu itu ternyata memang berat ...



Suatu malam saat menjelang subuh, kupandangi ketiga buah hati yang masih terlelap. Si sulung yang sudah beranjak remaja, kemudian Al dan H yang lagi sedang-sedangnya mencari perhatian uminya. Kesadaraanku perlahan muncul, meresap membuat pendar di hati dan pikiran. Inilah buah hatiku yang harus benar-benar ku didik dengan baik. Inilah amanah Allah yang harus selalu kujaga fitrahnya. Inilah medan jihadku, inilah tiket Surgaku. Akulah ummu, madrasatul uula wa aula.  Ibu sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak-anakku. Mana mungkin aku menyia-nyiakan mereka dengan terus menangisi keadaan karena tak sesuai dengan inginku. Stop, aku harus move on. Saatnya berbenah diri, menggali kembali potensi, membekali diri dengan berbagai ilmu parenting untuk si buah hati.

Dan akhirnya saya menemukan IIP. Suka dengan program-programnya dan nyaman dengan komunitasnya. Semua orang punya medan juangnya sendiri-sendiri, dan inilah medan juangku. Mencetak anak-anak menjadi generasi terbaik untuk ummat ini.
Yaa Rabbii, akhirnya telah kutemukan obat rinduku, di sini di dalam rumahku ...


















Komentar

  1. MasyaAllah mba geta... Love u deh 😍

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Lope lope juga kk ira...makasih udh mampir 😍

      Hapus
  3. MasyaAllah...bara barakallahu fiik mbak Geta

    BalasHapus
  4. Mba geta.. kok aku mrebes mili ini bacanya.. 😭😭😭

    Keep strong yaaaa mba.. ❤️❤️❤️

    BalasHapus
  5. Aku terharunya bacanya.. semoga semangatnya bisa menginspirasi semua orangnya.. peluk dari jauh buat kaka Geta! :*

    BalasHapus
  6. Masha Allah, peluuuk kk Geta, ikut mbrebes mili dan rindu. In shaa Allah semua rencana Allah itu yang terbaik yaa. Semoga terus menginspirasi.. barakallahu fiik kakaa ❤️❤️❤️

    BalasHapus
  7. MasyaAllah, inspiratif sekali, Mbak Geta. Tetap semangat yaaa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer