Mie Ayam Rasa Nostalgia

Seporsi Mie ayam berada di hadapanku saat ini. Setelah 9 hari di kampung halaman dalam rangka mudik 1 tahun sekali, baru kali ini saya mencicipinya lagi. Rupanya si mamang sudah jarang berjualan. Lewat bibi, ua dan sepupu-sepupu saya titip pesan jika mang Nanang tukang mie ayam itu lewat, tolong dikabari. Dan tadi rumah kami diketuk, ternyata kakak sepupuku yang masih kuliah itu memberi tahu kalau tukang mie ayam lewat. Akhirnya inilah mie ayam itu. Mie ayam kampung yang sebenarnya biasa-biasa saja. Mie dengan potongan-potongan sawi dan ayam yang hanya beberapa potong kecil dengan kuah kecap manis. Sekilas memang tak ada yg istimewa, tapi setiap kali menikmatinya ingatan saya akan langsung terbang ke puluhan tahun silam. Ke masa kecil yang penuh perjuangan.

Saat itu untuk bisa jajan mie ayam saya harus menabung sisa uang jajan 1 minggu lamanya. Satu porsi  mie ayam kala itu 300 perak. Setiap hari saya memperoleh uang jajan 150 perak, untuk sekolah, madrasah, dan uang jajan di pengajian selepas magrib.

"Ting ting ting ting ting  ting tiiiing ..." terdengar suara mangkok dipukul pakai sendok. "Mie ayam ..." kataku dan adikku hampir berbarengan. Kami mendapati Bapak yang entah mulai kapan, selalu ada di rumah. "Pak mau mie ayam ..." kataku. "Emang punya uang ... mana uangnya ?" Tanyanya sambil mengulurkan tangan. "Kalau gak punya uang udah diem ...jangan banyak maunya". Katanya lagi dengan tegas. Dengan wajah ditekuk, kami kembali masuk rumah. Sejak saat itu seperti ada peraturan tertulis bahwa kami tidak bisa meminta apapun di luar uang saku yang dikasih mamah setiap pagi sebelum berangkat kerja. Kami harus berhemat dan menabung agar bisa membeli sesuatu yang spesial menurut kami. Dan di sore itu, saat tabungan kami mencukupi, kami bisa menikmati semangkok mie ayam yang sudah diidam idamkan.

" Bismillah ..." satu sendok mie masuk ke mulutku, rasa dan aromanya masih sama. Wangi khas mie buatan sendiri yang lembut dipadukan dengan semur ayam yang manis. Tapi kali ini ada tambahan ceker ayamnya. Dulu saya tak bisa mengerti kenapa Bapak tak membelikan kami mie ayam, bahkan uang jajan. Pikiran kanak-kanak saya hanya menilai bahwa Bapak tidak mempunyai uang atau pelit. Bagaimana tak seperti itu jika tiap kali mamah membawa makanan, kami harus menunggu Bapak dulu yang makan. Kami biasa makan potongan mangga ujungnya yang agak asam setelah Bapak selesai memakan pangkalnya.

Seiring waktu, semakin bertambah usia saya semakin mengerti keadaan dan ada marah tersimpan. Itulah yang membuat saya tak betah di rumah sehingga  memilih sekolah yang jauh dari rumah. SMP saya di Pondok, SMA menjadi anak kost dan  kuliah pergi merantau ke luar propinsi. Saya selalu berhemat dan ingin mandiri. Pernah saat kuliah saya mengambil beberapa kerjaan sampingan. Siang mengajar privat, sore mengajat TPA dan selepas magrib mengajar anak-anak di rumah. Suatu hari saya ambruk dan harus dirawat di Rumah Sakit beberapa hari lamanya. Begitulah hubungan saya dan Bapak, jarang berkomunikasi dan bertegur sapa. Kami berkomunikasi lewat mamah, jarang membicarakannya secara langsung.

Suatu kali saya mengikuti sebuah pengajian, yang menjelaskan bahwa segala aktifitas kita haruslah terikat dengan hukum-hukum syara. " Al ashlu fil af'al At Taqayyudu bihukmisy Syar'i ... hukum asal perbuatan itu terikat pada hukum-hukum syara' apakah dia wajib, haram, sunah, makruh atau mubah", kata ustadzahnya menjelaskan. "Seperti kepada orang tua kita, bagaimanapun keadaan mereka, kita wajib berbakti kepada mereka ... seperti kisah nabi Ibrahim 'alaihissalam ...". Penjelasan selanjutnya hanya sayup-sayup terdengar , saya seperti ditarik pada sebuah titik kesadaran.

Bahwa terlepas dari apapun, seorang anak wajib berbakti pada orang tua. Bahwa setiap kita akhirnya akan dimintai tanggung jawab masing-masing di hadapan Allah. Pertanyaannya nanti adalah apakah saya anak yang shalihah atau tidak, berbakti atau tidak. Sayapun semakin tersadarkan bahwa terkadang orang tua mencintai anaknya bisa jadi dalam bentuk yang tidak sesuai dengan keinginan anaknya. Lihatlah hikmahnya sekarang, saya jadi lebih mandiri. Saya juga terbiasa untuk menabung dan tidak mudah menyerah untuk mencapai sesuatu. Seporsi mie ayam telah mengajarkan itu.

Puluhan tahun berlalu, saya percaya doa-doa dari Bapak mamahlah yang membuat saya seperti sekarang. Alhamdulillah Allah menitipkan keluasan rezeki. Pada tahun 2016 alhamdulillah saya dan suami memberangkatkan mereka ke Baitullah untuk pergi haji. Mereka terlihat sangat bahagia. Dan dari hari ke hari hubungan saya dan Bapak semakin baik. Mesra layaknya hubungan Bapak dan anaknya. "Allaahummagfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa ... Aamiin".




Komentar

  1. MasyaaAllooh..

    Hangat sekali tulisannya mbak..
    hubungan saya.. terima kasih..
    💜

    BalasHapus
  2. Masya Allab Mba Geta.. kisah yang sarat makna. Dari semangkuk mie ayam bisa jadi cerita yang jleb banget..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer